TEORI BELAJAR MENURUT ALIRAN BEHAVIORISTIK DAN LANDASAN
FILOSOFINYA
Untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah belajar
dan Pembelajaran dengan dosen pengampu Prof. Dr. H. Karwono, M.Pd
Disusun oleh
Kelompok 1
1. Ari puspita 11320085
2. Lilis Nurmayuni 11320071
3. Monica Rahmawati 11320043
4. Nurul Rahma Hidayati 11320075
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS
MUHAMMADIYAH METRO
2012
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum wr.wb
Puji syukur
kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga kami
dapat menyelesaikan penulisan makalah Belajar dan Pembelajaran ini.
Terima kasih
kami ucapkan kepada Dosen pembimbing mata kuliah Belajar dan Pembelajaran,
Bapak Prof. Dr. H. Karwono,M.Pd yang telah meluangkan waktu dan kesempatan
membimbing dan mengarahkan kami dalam penulisan makalah ini.
Kami
menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih sangat jauh dari kesempurnaan.Oleh
karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi
kesempurnaan makalah kami selanjutnya.
Akhirnya, semoga makalah
ini dapat bermanfaat bagi kita semua,khususnya kami sendiri, Amin.
Wassallamualaikum wr.wb
Metro,September
2012
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
KATA
PENGANTAR.................................................................................i
DAFTAR
ISI.................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................1
1.1. Latar belakang..................................................................................1
1.2. Tujuan................................................................................................2
1.3. Manfaat..............................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN................................................................................3
2.1. Pengertian Teori
Behavioristik.........................................................3
2.2. Landasan Filosofis Teori
Behavioristik............................................5
2.3. Teori Belajar Menurut Beberapa
Tokoh.........................................6
2.4. Aplikasi Teori Belajar Behavioristik Dalam
Pembelajaran...........15
BAB III PENUTUP.........................................................................................20
3.1.
Kesimpulan............................................................................................20
3.2.
Saran......................................................................................................20
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Teori belajar Behavioristik adalah sebuah teori yang
dicetuskan oleh Gage
dan Berliner
tentang perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman.
Teori ini lalu berkembang menjadi aliran psikologi belajar yang
berpengaruh terhadap arah pengembangan teori dan praktek pendidikan dan pembelajaran yang dikenal
sebagai aliran behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku
yang tampak sebagai hasil belajar.
Teori
behavioristik dengan model hubungan stimulus-responnya, mendudukkan
orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu
dengan menggunakan metode pelatihan atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku
akan semakin kuat bila diberikan penguatan dan akan menghilang bila dikenai
hukuman.
Menurut teori behavioristik belajar adalah perubahan tingkah
laku sebagai hasil dari pengalaman (Gage, Berliner, 1984) Belajar merupakan
akibat adanya interaksi antara stimulus dan respon (Slavin, 2000). Seseorang
dianggap telah belajar sesuatu jika dia dapat menunjukkan perubahan
perilakunya. Menurut teori ini dalam belajar yang penting adalah input yang
berupa stimulus dan output yang berupa respon. Stimulus adalah apa saja yang
diberikan guru kepada siswa, sedangkan respon berupa reaksi atau tanggapan
siswa terhadap stimulus yang diberikan oleh guru tersebut. Proses yang terjadi
antara stimulus dan respon tidak penting untuk diperhatikan karena tidak dapat
diamati dan tidak dapat diukur. Yang dapat diamati adalah stimulus dan respon,
oleh karena itu apa yang diberikan oleh guru (stimulus) dan apa yang diterima
oleh siswa (respon) harus dapat diamati dan diukur. Teori ini mengutamakan
pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal penting untuk melihat terjadi
atau tidaknya perubahan tingkah laku tersebut.
1.2 Tujuan
Tujuan pembuatan makalah ini adalah untuk :
- Mengetahui implikasi teori behaviorisme
- Untuk mengetahui penerapan dalam teori behaviorisme
- Untuk mengetahui tujuan pembelajaran teori behaviorisme
- Untuk mengetahui teori – teori yang mendukung teori behaviorisme
1.3 Manfaat
Adapaun manfaat dari pembuatan makalah ini yaitu kita dapat
mengetahui implikasi pembelajaran dari teori behaviorisme, untuk mengetahui
penerapan dalam teori behaviorisme, dan untuk mempermudah kita dalam mengetahui
pembelajaran serta teori – teori yang mendukung teori behaviorisme tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Teori Behavioristik
Dalam teori behavioristik, ingin menganalisa hanya perilaku yang nampak
saja, yang dapat diukur, dilukiskan, dan diramalkan. Teori kaum behavoris lebih
dikenal dengan nama teori belajar, karena seluruh perilaku manusia adalah hasil
belajar. Belajar artinya perbahan perilaku organise sebagai pengaruh
lingkungan. Behaviorisme tidak mau mempersoalkan apakah manusia baik atau jelek, rasional
atau emosional; behaviorisme hanya ingin mengetahui bagaimana perilakunya
dikendalikan
oleh faktor-faktor lingkungan. Dalam arti teori belajar yang lebih menekankan
pada tingkah laku manusia. Memandang individu sebagai makhluk reaktif yang
memberi respon terhadap lingkungan. Pengalaman dan pemeliharaan akan membentuk
perilaku mereka. Dari hal ini, timbulah konsep ”manusia mesin” (Homo
Mechanicus).
Ciri dari teori ini adalah mengutamakan unsur-unsur dan
bagian kecil, bersifat mekanistis, menekankan peranan lingkungan, mementingkan
pembentukan reaksi atau respon, menekankan pentingnya latihan, mementingkan
mekanisme hasil belajar,mementingkan peranan kemampuan dan hasil belajar yang
diperoleh adalah munculnya perilaku yang diinginkan. Pada teori belajar ini
sering disebut S-R psikologis artinya bahwa tingkah laku manusia dikendalikan
oleh ganjaran atau reward dan penguatan atau reinforcement dari lingkungan.
Dengan demikian dalam tingkah laku belajar terdapat jalinan yang erat antara
reaksi-reaksi behavioural dengan stimulusnya.
Guru yang menganut pandangan ini berpandapat bahwa
tingkahlaku siswa merupakan reaksi terhadap lingkungan dan tingkah laku adalah
hasil belajar.
Kaum behavioris menjelaskan bahwa belajar sebagai suatu proses
perubahan tingkah laku dimana reinforcement dan punishment
menjadi stimulus untuk merangsang pebelajar dalam berperilaku. Pendidik yang
masih menggunakan kerangka behavioristik biasanya merencanakan kurikulum dengan
menyusun isi pengetahuan menjadi bagian-bagian kecil yang ditandai dengan suatu
keterampilan tertentu. Kemudian, bagian-bagian tersebut disusun secara hirarki,
dari yang sederhana sampai yang komplek (Paul, 1997).
Pandangan teori behavioristik telah cukup lama dianut oleh para
pendidik. Namun dari semua teori yang ada, teori Skinnerlah yang paling besar
pengaruhnya terhadap perkembangan teori belajar behavioristik. Program-program
pembelajaran seperti Teaching Machine, Pembelajaran berprogram, modul
dan program-program pembelajaran lain yang berpijak pada konsep hubungan
stimulus-respons serta mementingkan faktor-faktor penguat (reinforcement),
merupakan program pembelajaran yang menerapkan teori belajar yang dikemukakan
Skiner.
Teori behavioristik banyak dikritik karena seringkali
tidak mampu menjelaskan situasi belajar yang kompleks, sebab banyak variabel
atau hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan dan/atau belajar yang dapat
diubah menjadi sekedar hubungan stimulus dan respon. Teori ini tidak mampu
menjelaskan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam hubungan stimulus dan
respon.
Pandangan behavioristik juga kurang dapat menjelaskan adanya variasi
tingkat emosi pebelajar, walaupun mereka memiliki pengalaman penguatan yang
sama. Pandangan ini tidak dapat menjelaskan mengapa dua anak yang mempunyai
kemampuan dan pengalaman penguatan yang relatif sama, ternyata perilakunya
terhadap suatu pelajaran berbeda, juga dalam memilih tugas sangat berbeda
tingkat kesulitannya. Pandangan behavioristik hanya mengakui adanya stimulus
dan respon yang dapat diamati. Mereka tidak memperhatikan adanya pengaruh pikiran
atau perasaan yang mempertemukan unsur-unsur yang diamati tersebut.
Teori behavioristik juga cenderung mengarahkan pebelajar
untuk berfikir linier, konvergen, tidak kreatif dan tidak produktif. Pandangan
teori ini bahwa belajar merupakan proses pembentukan atau shaping, yaitu
membawa pebelajar menuju atau mencapai target tertentu, sehingga menjadikan
peserta didik tidak bebas berkreasi dan berimajinasi. Padahal banyak faktor
yang mempengaruhi proses belajar, proses belajar tidak sekedar pembentukan atau
shaping.
Menurut Arden N. Frandsen mengatakan
bahwa hal yang mendorong seseorang itu untuk belajar antara lain sebagai
berikut:
1.
Adanya
sifat ingin tahu dan ingin menyelidiki dunia yang lebih luas;
2.
Adanya
sifat kreatif yang ada pada manusia dan keinginan untuk maju;
3.
Adanya
keinginan untuk mendapatkan simpati dari orang tua, guru, dan teman-teman;
4.
Adanya
keinginan untuk memperbaiki kegagalan yang lalu dengan usaha yang baru, baik
dengan koperasi maupun dengan kompetensi;
5.
Adanya
keinginan untuk mendapatkan rasa aman;
6.
Adanya ganjaran atau hukuman
sebagai akhir dari pada belajar.
2.2 Landasan Filosofis Teori Belajar Behavioristik
Landasan filosofis merupakan landasan yang berkaitan
dengan makna hakikat sesuatu, yang berusaha menelaah masalah-masalah pokok seperti:
apakah sesuatu itu, mengapa sesuatu itu dtperlukan, apa yang seharusnya menjadi
tujuannya dan sebagainya .
Dalam melaksanakan terori ini ada beberpa prinsip yang
harus diperhatikan. Prinsip-prinsip itu adalah;
a) Perilaku nyata dan terukur memiliki makna tersendiri, bukan sebagai
perwujudan dari jiwa atau mental yang abstrak.
b) Aspek mental dari kesadaran yang tidak memiliki bentuk fisik adalah
pseudo problem untuk sciene, harus dihindari.
c) Penganjur utama adalah Watson
: overt, observable behavior, adalah satu-satunya subyek yang sah dari ilmu
psikologi yang benar.
d) Dalam perkembangannya, pandangan Watson yang ekstrem ini
dikembangkan lagi oleh para behaviorist dengan memperluas ruang lingkup studi
behaviorisme dan akhirnya pandangan behaviorisme juga menjadi tidak seekstrem
Watson, dengan mengikutsertakan faktor-faktor internal juga, meskipun fokus
pada overt behavior tetap terjadi.
e) Aliran behaviorisme juga menyumbangkan metodenya yang terkontrol dan
bersifat positivistik dalam perkembangan ilmu psikologi.
f) Banyak ahli membagi behaviorisme ke dalam dua periode, yaitu
behaviorisme awal dan yang lebih belakangan.
2.3
Teori Belajar Menurut Beberapa Tokoh
1)
Pavlov
Ivan Pavlov terkenal dengan teori
kondisioning klasik(classical conditioning),yait sejenis pembelajaran dimana
sebuah organisme belajar untuk menghubungkan atau mengasosiasikan stimulus
dengan respon. Dalam pengkondisian klasik,sebuah stimulus netral (contoh:bel)
menjadi diasosiasikan dengan stimulus yang mempunyai makna(contoh:makana) dan
mendatangkan kepastian untuk mendatangkan respon yang sama. Untuk memahami
teori kondisioning klasik secara menyeluruh perlu dipahami bahwa ada dua jenis
stimulus dan dua jenis respon. Dua jenis stimulus tersebut adalah stimulus yang
tdak terkondisi (unconditioned stimulus-UCS),yaitu stimulus yang secara
otomatis menghasilkan respon tanpa didahului dengan pembelajaran apa pun
(contoh:makanan) dan stimulus terkondisi (conditioned stimimulus-CS), yaitu
stimulus yang sebelumnya bersifat netral,akhirnya mendatangakan sebuah respon
yang terkondisi setelah diasosiasikan dengan stimulus tidak
terkondisi(contoh:suara bel sebelum makan dating).
Dua respon tersebut adalah respon
yang tidak terkondisi (unconditioned respon-UCS), yaitu sebuah respon yang
tidak terkondisi (contoh:keluarnya air liur anjing setelah melihat makanan) dan
respon bterkondisi(conditioned respon-CR), yaitu sebuah respon yang dipelajari
terhadap stimulus yang terkondisi yang terjadi setelah terkondidi dipasangkan
dengan stimulus terkondisi(contoh:keluarnya air liur anjing setelah melihat
makanan yang bersama dengan suara bel).
v Generalisasi,Deskriminasi,dan
Pembelajaran
Faktor lain yang juga penting
dalam teori belajar pengkondisian klasik Pavlov adalah generalisasi,deskriminasi,dan
pelemahan.
a.
Generalisasi.
Dalam
mempelajari respon terhadap stimulus serupa, anjing akan mengeluarkan air liur
begitu mendengar suara-suara yang mirirp
dengan bel, contoh suara peluit (karena anjing mengeluarkan air liur ketika bel
dipasangkan dengan makanan). Jadi,generalisasi melibatkan kecenderungan dari
stimulus baru yang serupa dengan stimulus terkondisi asli untuk menghasilkan
respon serupa. Contoh, seorang peserta didik merasa gugup ketika dikritik atas
hasil ujian yang jelek pada mata pelajaran matematika. Ketika mempersiapkan
ujian Fisika, peserta didik tersbut akan merasakan gugup karena kedua pelajaran
sama-sama berupa hitungan. Jadi kegugupan peserta didik tersebut hasil
generalisasi dari melakukan ujian mata pelajaran satu kepada mata pelajaran
lain yang mirip.
b.
Deskriminasi.
Organisme
merespon stimulus tertentu, tetapi tidak terhadap yang lainnya. Pavlov
memberikan makanan kepada anjing hanya setelah bunyi bel, bukan setelah bunyi
yang lain untuk menghasilkan deskriminasi. Contoh, dalam mengalami ujian
dikelas yang berbeda, pesrta didik tidak merasa sama gelisahnya ketika
menghadapi ujian bahasa Indonesia dan sejarah karena keduanya merupakan subjek
yang berbeda.
c.
Pelemahan (extincition).
Proses melemahnya stimulus
yang terkondisi dengan cara menghilangkan stimulus tak terkondisi. Pavlov
membunyikan bel berulang-ulang, tetapi tidak disertai makanan. Akhirnya, dengan
hanya mendengar bunyi bel, anjing tidak mngeluarkan air liur. Contoh, kritikan
guru yang terus menerus pada hasil ujian yang jelek, membuat peserta didik
tidak termotivasi belajar. Padahal, sebelumnya peserta didik pernah mendapat
nilai ujian yang bagus dan sangat termotivasi belajar.
Dalam bidang pendidikan, teori kondisioning
klasik digunakan untuk mengembangkan sikap yang menguntungkan terhadap pesrta
didik untuk termotivasi belajar dan membantu guru untuk melatih kebiasaan
positif pesrta didik.
2)
Skinner
B.F.Skinner terkenal dengan teori pengkondisia operan (operant conditioning) atau juga disebut
pengkondisian instrumental (instrumental
conditioning), yaitu suatu bentuk pembelajaran dimana konsekuensi perilaku
menghasilkan berbagai kemungkinan terjadinya perilaku tersebut. Penggunaan
konsekuensi yang menyenangkan atau tidak menyenangkan untuk mengubah perilaku
itulah yang disebut dengan pengkondisian operan.
Prinsip
teori Skinner ini adalah hukum akibat, penguatan atau penghargaan,dan
konsekuensi. Prinsip hukum akibat menjelaskan bahwa perilaku yang diikuti hasil
positif akan diperkuat dan perilaku yang diikuti hasil negatif akan diperlemah.
Penguatan merupakan suatu konsekuensi yang meningkatkan peluang terjadinya
suatu perilaku. Konsekuensi adalah suatu kondisi yang menyenangkan atau tidak
menyenangkan yang terjadi setelah perilaku dan memengaruhi frekuensi prilaku
pada waktu yang akan dating. Konsekuensi yang menyenangkan disebut tindakan
penguatan dan konsekuensi yang tidak menyenangkan disebut hukuman.
a.
Penguatan (Reinforcement)
Menurut Skinner, untuk memperkuat
perilaku atau menegaskan perilaku diperlukan suatu penguatan (reinforcement). Ada juga jenis
penguatan, yaitu penguatan positif dan penguatan negative.
Penguatan positif (positive
reninforcement) didasari
prinsip bahwa frekuensi dari suatu respon akan meningkat karena diikuti oleh
suatu stimulus yang mengandung penghargaan. Jadi, perilaku yang diharapkan akan
meningkat karena diikuti oleh stimulus menyenangkan. Contoh, peserta didik yang
selalu rajin belajar sehingga mendapat rangking satu akan diberi hadiah sepeda
oleh orang tuanya. Perilaku yang ingin diulang atau ditingkatkan adalah rajin
belajar sehingga menjadi rangking satu dan penguatan positif/stimulus
menyenangkan adalah pemberian sepeda.
Penguatan negatif (negatve
reinforcement) didasari
prinsip bahwa frekuensi dari suatu respon akan meningkat karena diikuti dengan
suatu stimulus yang tidak menyenangkan yang ingin dihilangkan. Jadi, perilaku
yang diharapkan akan meningkat karena diikuti dengan penghilangan stimulus yang
tidak menyenangkan. Contoh, pesreta didik sering bertanya dan guru
menghilangkan/tidak mengkritik terhadap pertanyaan yang tidak berkenan dihati
guru sehingga peserta didik akan sering bertanta. Jadi, perilaku yang ingin di
ulangi atau ditingkatkan adlah sering bertanya dan stimulus yang tidak
menyenangkan yang ingin dihilangkan adalah kritikan guru sehingga peserta didik
tidak malu dan akan sering bertanya karena guru tidak mengkritik pertanyaan
yang tidak berbobot/melenceng.
b.
Hukuman
Hukuman (punishmen) yaitu suatu konsekuensi yang menurunkan peluang
terjadinya suatu perilaku. Jadi, perilaku yang tidak diharapkan akan menurun
atau bahkan hilang karena diberikan suatu stimulus yang tidak menyenangkan.
Contoh, peserta didik yang berperilaku mencontek akan diberikan sanksi, yaitu
jawabannya tidak diperiksa dan nilainya 0 (stimulus yang tidak
menyenangkan/hukuman). Perilaku yang ingin dihilangkan adalah perilaku
mencontek dan jawaban tidak diperiksa serta nilai 0 (stimulus yang tidak
menyenangkan atau hukuman).
Perbedaan
antara penguatan negatif dan hukuman terletak pada perilaku yang ditimbulkan.
Pada penguatan negatif, menghilangkan stimulus yang tidak menyenangkan (kritik)
untuk meningkatkan perilaku yang diharapkan (sering bertanya). Pada hukuman,
pemberian stimulus yang tidak menyenangkan nilai 0 untuk menghilangkan perilaku
yang tidak diharapkan (perilaku mencontek).
Ø Jadwal
Pemberian Penguatan
1) Continuos Reinforcement
Penguatan diberikan secara terus menerus setiap
pemunculan respon atau perilaku yang diharapkan. Contoh, setiap anak mau
mengerjakan PR (meskipun banyak yang salah), orang tua selalu menghilangkan
kritikan (menghilangkan stimulus tidak menyenangkan/memberikan penguat
negatif). Setiap anak mau membantu memakai sepatu sendiri ketika akan berangkat
sekolah, orang tua selalu memuji (memberikan stimulus yang menyenangkan/penguat
positif).
2)
Partial Reinfocement
Penguatan
diberikan dengan menggunakan jadwal tertentu.
v Jadwal
Rasio Tetap (Fixed interval Schedule – FI),
yaitu
pemberian penguatan berdasarkan frekuensi atau jumlah respon/tingkah laku
tertentu secara tetap. Contoh: Guru TK berkata, “Jika kalian sudah selesei
mengerjakan 10 saol, kalian mendapat hadiah permen.” Tanpa peduli jumlah waktu
yang dibutuhkan untuk menyelesaikan soal tersebut. Siswa mampu menyelesaikan 10
soal (jumlah perilaku yang diharapkan) dan mendapat hadiah permen (merupakan
satu penguatan). Dalam pembelajaran, pelaksanaan penguatan ini dapat
ditingkatkan jumlah perilakunya secara bertahap, misalnya meningkat mulai 5
soal dapat dikerjakan mendapat satu penguatan (FR-5), meningkat menjadi 10 soal
mampu dikerjakan satu penguatan (FR-10), dan seterusnya. Akhirnya, pesrta didik
diharapkan mampu mengerjakan banyak soal dengan satu penguatan atau bahkan
tanpa adanya penguatan.
v Jadwal
Internal Tetap (Fixed Interval Schedule-FI),
Pemberian penguatan berdasarkan
jumlah waktu tertentu secara tetap. Dalam, FI jumlah waktunya yang tetap.
Contoh ini sangat cocok digunakan seorang ibu untuk melatih anak kecilnya agar
mengurangi kebiasaan makan atau minum susu berlebihan. Ibu berkata pada
susternya, “Si Badu hanya diberikan susu setiap 1 jam sekali”. Jadi, meskipun
Si Bedu menangis, karena belum 1 jam, suster tidak boleh memberikan susu. Minum
susu setiap 1 jam (perilaku yang diharapkan) dan pemberian susu oleh suster
(penguatan yang diberikan). Jumlah waktu bisa ditingkatkan nenjadi setiap 2 jam
(FI-2), 3 jam (FI-3) sampai akhirnya menjadi 4 sekali (FI-4).
v Jadwal
Rasio Variabel ( Variable Ratio Schedule – VR),
Pemberian penguatan
berdasarkan perilaku, tetapi jumlah perilakunya tidak tetap. Jadi, penguatan
tetap diberikan untuk perilaku yang diharapkan, tetapi jumlah perilakunya tidak
tetap. Contoh paling tepat adalah permainan anak-anak dengan cara memasukkan
koin ke mesin untuk mendapatkan hidak tahu pada perilakuadiah. Anak tersebut
tidak tahu pada perilaku memasukkan koin yang ke berapa kali, baru memperoleh
hadiah.Contoh dalam pembelajaran adalah guru akan memberi nilai tambahan setiap
peserta didik (dari 40 peserta didik di kelas) yang menjawab benar. Peserta
didik akan mencoba untuk menjawab belum tentu benar berkalli-kali- VR ) dan
tambahan nilai (penguat VR).
v Jadwal
Interval Variabel (Variabel Interval Schedule – VI)
Pemberian penguatan pada
suatu perilaku, tetapi jumlah waktunya tidak tetap yaitu tidak dapat
ditentukan kapan waktunya tidak tetap. Jika dalam VR, jumlah perilakunya tetap.
Dalam VI, jumlah waktunya tidak tetap. Contoh, guru secara acak melakukan
pemeriksaan secara keliling di kelas terhadap pekerjaan peserta didik yang
menjawab benar dan guru memneri pujian setiap menemukan jawaban benar peserta
didik. Peserta didik tidak tahu kapan guru menghampiri dan melihat pekerjaannya
serta memujinya jika jawabannya benar. Karena peserta didik tidak tahu kapan
gurunyamenghampiri, peserta didik tersebut selalu berusaha mengerjakan dengan
benar setiap saat. Peserta didik mengerjakan benarsetiap saat (perilaku-VI) dan
guru yang sempat menghampiri dan memberi pujian pada waktu yang tidak tetap
(penguatan-VI).
3)
Keefektifan Hukuman
Hukuman hendaknya diberikan untuk
perilaku yang sesuai. Terkadang hukuman diberikan terlalu berat, terlalu
ringan, bahkan bentuk hukuman yang tidak
ada kaitan dengan pperilaku yang ingin dihilangkan. Contoh: peserta didik yang
tidak mengerjakan PR harus keliling lapangan 10 X (hukuman tidak sesuai),
mungkin hukuman yang cocok, peserta didik diberikan PR yang lebih banyak
daripada temannya, dan lain-lain.
3)
Thondike
Teori belajar Thondike di kenal
dengan istilah koneksionisme (connectionism).
Teori ini memandang bahwa yang menjadi
dasar terjadinya belajar adalah adanya asosiasi atau menghubungkan antara kesan
indera (stimulus) dengan dorongan yang muncul untuk bertindak (respon), yang di
sebut dengan connecting. Dalam teori
ini juga di kenal istilah selecting,
yaitu stimulus yang beraneka ragam di lingkungan melalui proses mencoba-coba
dan gagal (trial &error). Setiap
organisme jika dihadapkan dengan situasi baru akan melakukan tindakan tindakan
yang sifatnya coba-coba. Jika dalam mencoba itu secara kebetulan ada tindakan
yang dianggap memenuhi tuntutan situasi, tindakan yang kebetulan cocok itu akan
“di pegang”. Karena latihan yang terus menerus, waktu yang digunakan untuk
coba-coba itu semakin lama semakin efisien. Dalem teori ini, proses tersebut
terjadi secara mekanistik, tanpa penalaran, tidak melihat situasi keseluruhan,
dan terjadinya secara bertahap.
Percobaan Thorndike adalah sebagai
berikut. Seekor kucing yang lapar dimasukkan ke dalam kandang tertutup yang ada
pintunya, tetapi pintu tersebut di beri pedal, apabila pedal di injak, pintu
terbuka. Di luar kandang diletakkan sepiring makanan (daging). Apa reaksi
kucing/ Mula-mula kucing bergerak ke sana ke mari ml pintu mencoba-coba hendak
keluar dari kandang. Lama kelamaan pada suatu ketika secara kebetulan terinjak
pedal pintu oleh salah satu kakinya. Pintu kandang terbuka dan kucing keluarlah
menuju makanan.
Percobaan di ulangi lagi. Tingkah
laku itu meskipun sama seperti pada percobaan pertama, hanya waktu yang
dibutuhkan untuk bergerak ke sana ke mari lebih singkat. Setalah diadakan
percobaan berkali-kali, akhirnya kucing itu tidak perlu lagi kesana kemari,
tetapi langsung menginjak pedal pintu dan terus keluar menuju makanan. Dalam
teori koneksionisme, di kenal dengan hukum-hukum Thorndike, yaitu hukum akibat
(low of effect), hukum kesiapan(law of readiness), dan hukum latihan (law of exercise)
a. Hukum Akibat (Low of Effect)
Suati tindakan atau tingkah laku
yang mengakibatkan suatu keadaan yang menyenangkan (cocok dengan tuntutan
situasi) akan diulangi, di ingat, dan dipelajari dengan sebaik-baiknya.
Suatu tindakan/tingkah laku yang
mengakibatkan suatu keadaan yang tidak menyenangkan (tidak cocok dengan
tuntutan situasi) akan dihilangkan atau dilupakan. Tingkah laku ini terjadi
secara otomatis. Contoh: Jika dapat membuat lampion dengan rapi, peserta didik
merasa sangat puas karenamendapat pujian. Tindakan tersebut akan diulangi, di
ingat, dan depelajari dengan sebaik-baiknya bahkan berusaha menjadi lebih baik
lagi.
b. Hukum Kesiapan (Law of Readiness)
Kesiapan untuk bereaksi
terhadapsuatu stimilus yang di hadapi sehingga reaksi tersebut menjadi
memuaskan. Pernyataan tersebut dapa dijabarkan sebagai berikut:
Jika individu siap melakukan tindakan,
melakukan tindakan itu akan menimbulkan kepuasan. Contoh: Peserta didik yang
merasa sangat siap menghadapi ulangan dengan belajar keras, mengikuti ulangan
merupakan suatu tindakan yang menyenangkan karena dapat mengerjakan dengan
benar.
Individu siap melakukan tindakan, tidak
melakukan tindakan akan menimbulakan kesalahan. Contoh: Peserta didik yang
merasa sangat siap menghadapi ulangan dengan belajar keras, maka tidak mengikuti
ulangan dengan belajar keras, maka tidak mengikuti ulangan karena ulangan
dibatalkan akan menimbulkan rasa tidak puas, mungkin jengkel karena usahanya
percuma.
Jika individu tidak siap melakukan tindakan,
maka melakukan tindakan akan menimbulkan kekesalan. Contoh: Peserta didik tidak
siap (tidak belajar) untuk menghadapi ulangan yang mendadak , maka tindakan
mengikuti ulangan akan menimbulkan kekesalan (merasa tidak
menyenangkan-khawatir nilai jelek).
Jadi dalam melakukan suatu perbuatan
(belajar), sering akan di capai hasil yang memuaskan apabila individu siap
menerima dan melakukan sesuatu dengan tidak ada hambatan.
c. Hukum Latihan (Law of Exercise)
Prinsip
dalam latihan ini adalah tingkat frekuensi untuk mempraktikkan (seiringnya
menggunakan hubungan stimulus-respon), sehingga hubungan tersebut semakin kuat.
Praktik tersebut lebih efektif jika disertai reward. Hukum ini mengenai istilah
law of use dan low of disuse.
Makin
sering hubungan antara stimulus & respon dilakukan maka akan makin kuat
koneksinya (law of use). Contoh: Guru melempar bola akan peserta didik harus
menangkapnya bola (respon). Jika sering dipraktikan, hubungan stimulus-respon
semakin kuat, yang akhirnya peserta
didik menjadi terampil menangkap bola.
Jika
hubungan antara stimulus & respon dihentikan untuk periode tertentu,
koneksinya akan melemah (law of dis-use). Contoh: Keterampilan peserta didik
menangkap bola itu terjadi karena latihan. Jika latihan menangkap bola dihentikan
dalam jangka waktu yang relative lama (tidak di latih), lama kelamaan
keterampilan menangkap bola menjadi berkurang atau bahkan hilang (hubungan S-R
melemah).
Tanpa informasi atau umpan balik yang memberi
“reward” hanya terjadi perubahan kecil dalam distribusi respons.
4) E.RGuthrie
Menurur
Guthrie,tingkah laku manusia itu secara keseluruhan merupakan rangkaian tingkah
laku yang terjadi atas unit-unit. Unit-unit tingkah laku ini merupakan
respon-respon dari stimulus sebelumnya dan kemudian unit respon tersebut
menjadi stimulus yang kemudian akan menimbulkan respon bagi unit tingkah laku
yang berikutnya. Demikian seterusnya sehingga merupakan deretan tingkah laku
yang terus menerus. Jadi proses terbentuknya rangkaian tingkah laku tersebut
terjadi dengan kondisioning melalui proses asosiasi antara nit tingkah laku
yang satu dengan unit tingkah laku lainya menjadi semakin kuat. Prinsip belajar
pembentukan tingkah laku ini disebut law association.
Menurut
Guthrie,untuk memperbaiki tingkah laku yang jelek harus dilihat dari rentetan
unit-unit tingkah lakunya,kemudian diusahakan untuk menghilangkan atau
mengganti unit tingkah laku yang tidak baik dengan tingkah laku yang
seharusnya.
Tiga metode mengubah tinhkah laku menurut
tingkah laku ini,yaitu:
I.
Metode respon
bertentangan
II.
Metode membosankan
III.
Metode mengubah lingkungan